Pancasila, vaksin terampuh (in Indonesian)

Rakyat Indonesia yang tercinta,

Perkenalkan, namaku Audrey YU Jia Hui, salah satu warga negara yang mencintaimu. 

Aku juga adalah salah satu dari 72 ikon Pancasila pada tahun 2017 yang lalu.

Saat ini negara kita sedang dirundung wabah virus korona, dengan tingkat kematian yang lebih tinggi dari banyak negara lain. 

Banyak orang menyalahkan pemerintah pusat dan lokal, menyalahkan koordinasi sistem kesehatan dan lain sebagainya. Namun negaraku, ini bukan yang pertama kali dirimu dirundung wabah dan bencana. Banjir, kerusuhan, bom, sistem keadilan dan pendidikan yang kurang baik … nampaknya banyak sekali masalah yang merundung dirimu, silih berganti bagaikan badai yang tak kunjung berlalu. Apa yang bisa kita lakukan bersama, demi menyelamatkan negara kita? Strategi jangka panjang apa yang bisa mengubah negara kita menjadi lebih baik, dari negara yang selalu dirundung masalah menjadi negara maju yang siap menghadapi segala jenis masalah? Sebetulnya jawabannya ada di dalam diri kita masing-masing, o rakyatku. Aku tahu, sebab sebagai warga negara yang sangat mencintaimu, aku sejak kecil sudah menjadi korban dari virus terbesar yang menjangkiti tanah air kita, virus yang bentuknya selalu bermutasi namun tidak pernah pergi dan selalu melemahkan daya tahan Tubuh kita sebagai Negara Indonesia: Virus perpecahan. Virus ini membuat rakyat kita mudah diadu domba, mudah dibujuk oleh iming-iming kenikmatan pribadi dan kelompok, sehingga kesatuan dan kejayaan negaralah yang jadi korbannya. Namun kita tidak kunjung sadar pula, bahwa korban terbesar dari virus ini bukanlah orang atau bahkan kelompok tertentu dalam negara kita. Korban terbesar dari virus ini adalah negara kita sendiri—Indonesia yang kita cintai, yang akhirnya menjadi stagnan, sulit maju, mudah dipecah belah dan dijangkiti segala jenis ideologi perpecahan lainnya. 

Aku akan memberikan beberapa contoh, o rakyatku, saat di mana virus ini menjangkiti banyak orang dan memporak-porandakan kesatuan serta kejayaan negara kita. Aku yakin kalian akan mampu memberikan banyak contoh yang lain. 

Sewaktu aku masih belia, ada krisis ekonomi di tahun 1998 yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Tentu saja kita tahu, bahwa virus biologis (seperti virus influenza dan virus korona) mencari kesempatan saat daya tahan tubuh kita lemah; saat daya tahan tubuh kita lemah, virus tersebut akan menyerang dan membuat kita sakit, dan penyakit ini kadang-kadang berujung pada kematian. Demikian pula dengan virus perpecahan. Virus ini disebarkan oleh segala jenis orang, oknum dan kelompok yang secara sengaja maupun tidak sengaja suka mengadu domba dan memecah belah bangsa. Segala jenis tuduhan yang belum terbukti, ditambah dengan prasangka dan kata-kata yang kasar dilontarkan terhadap figur atau kelompok tertentu, dengan tujuan membakar emosi dan amukan rakyat terhadap figur atau kelompok tersebut. Virus perpecahan ini menjalar melalui media sosial, media massa, bahkan tempat pendidikan maupun tempat ibadah. Yang paling menyedihkan adalah, tidak ada yang sadar bahwa dirinya sudah terjangkiti virus perpecahan. Rakyat baru tahu akan hal ini saat banyak orang telah terjangkiti dan virus ini membludak, menjadi bom terorisme, kerusuhan, penjarahan, dll. Pada saat virus perpecahan ini masih dalam tahap inkubasi, hampir tidak ada yang peduli, walaupun jika tidak lekas diobati pasti suatu hari membludak lagi. Sudah banyak kejadian yang terjadi, yang nampaknya tidak saling berhubungan (kerusuhan 1998, bom Bali tahun 2002, bom Bali tahun 2005, bom di tempat-tempat ibadah dan kantor polisi di tahun 2018, kasus Meliana yang berakibat pembakaran vihara-vihara, kasus Ahok dan lain sebagainya), namun sebetulnya adalah hasil dari virus yang sama. Saat masa “inkubasi”, rakyat yang terjangkiti virus perpecahan akan memiliki hati yang penuh prasangka dan kebencian terhadap kelompok lain atau figur tertentu. Masa inkubasi ini bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jika sudah cukup banyak orang yang “sakit” dan terjangkiti virus ini, pada saat terjadi rumor atau krisis tertentu, meledaklah virus ini menjadi bencana yang mewabahi dan merundung negara kita. Karena virus ini tidak kunjung diberantas, akhirnya jadilah negara kita menjadi negara yang selalu tidak siap dalam menghadapi masalah, sebab banyak sekali rakyatnya (termasuk mereka yang punya posisi dan kekuasaan) terjangkiti virus perpecahan dan membuang waktunya untuk menjatuhkan lawan atau kelompok yang dibencinya. Jadilah kita negara yang penuh orang sakit, yang baru mau bersatu menghadapi masalah saat masalah tersebut menjadi besar (atau bahkan saat sudah ada korban yang meninggal), sebab rakyat yang sakit dan terjangkiti virus perpecahan tidak pernah punya energi untuk bersatu demi kemajuan bangsa saat belum ada masalah yang parah atau membludak. Kita melihat dinamika ini berlanjut dalam berbagai jenis hal: pertikaian antar agama atau suku bangsa, masalah banjir, dan sekarang masalah virus korona. Negara kita tidak punya energi untuk berpikir panjang atau melakukan segala jenis tindak pencegahan atau penguatan (supaya tidak mudah banjir, supaya rakyat harmonis, supaya virus korona tidak masuk Indonesia), sebab energinya tersita untuk saling melawan, iri hati dan menjatuhkan. Kita adalah negara yang banyak rakyatnya telah terjangkiti virus perpecahan selama bertahun-tahun, namun kita tidak sadar akan wabah penyakit ini. Akhirnya kita hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mendesah dalam hati, “Kok Indonesia begitu ya? Kok pemerintah begitu ya?” Padahal sebetulnya hal ini tidak sepenuhnya salahnya pemerintah. Jika sebagian (besar) warga Indonesia telah terjangkiti virus perpecahan, mana mungkin bisa bersatu ataupun berjuang bersama demi kebaikan negara? Mana mungkin bisa mengesampingkan ego masing-masing demi kepentingan bersama? Kalau masih sehat ya pasti bisa, tapi kalau sudah terjangkiti virus perpecahan, mana bisa?

            Rakyatku, tidak sadarkah engkau bahwa vaksin terampuh untuk virus perpecahan sudah ada dalam dasar negara kita sendiri? Pancasila adalah vaksin yang terampuh untuk melawan perpecahan. Namun sampai saat ini, vaksin ini hanya dihafalkan dan dipasang di tembok-tembok saja, tidak pernah diserap ke dalam seluruh cara berpikir dan sistem pendidikan kita. Karena vaksinnya tidak “disuntikkan” ke dalam kehidupan rakyat, ya akhirnya mubazir dong. Padahal seharusnya kita tidak menyia-nyiakan vaksin seampuh ini; apalagi kita tahu bahwa banyak rakyat kita terjangkiti oleh virus perpecahan. Izinkanlah saya untuk menjelaskan lebih jauh. 

            Sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) memastikan bahwa manusia memiliki sense of the divine, di mana kita sadar bahwa sebagai manusia, kita bukan hanya produk evolusi seperti makhluk-makhluk lainnya, melainkan manusia dengan akal budi, dengan kemampuan dan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan perilakunya sebagai anggota masyarakat. Padahal sebetulnya, jika dinilai dari sisi biologis, kita tidak jauh beda dari makhluk-makhluk lainnya: misalnya saat ini, daya tahan tubuh kita harus berperang melawan virus korona ini, sementara virus korona ini ingin berkembang biak dengan cara menjangkiti sebanyak mungkin orang. Sama seperti makhluk-makhluk lainnya, kita perlu makanan, minuman, oksigen, dan lain sebagainya; sama seperti makhluk-makhluk lainnya, kita bisa bertumbuh, beranak pinak, sakit dan meninggal. Namun yang membedakan kita dari makhluk lain adalah akal budi kita, yang memampukan kita untuk memiliki rasa keadilan dan kemasyarakatan (sila kedua dan kelima), menimba ilmu untuk memiliki hikmat kebijaksanaan (sila keempat) yang kemudian bisa kita gunakan untuk bersatu padu demi kebaikan bangsa negara (sila ketiga). Segala bentuk mutasi virus perpecahan pada akhirnya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Misal, jika seorang yang berkedok agama menggunakan ideologinya tersebut untuk membenci sesamanya, maka ia telah melanggar sila kedua (peri kemanusiaan), sila ketiga (persatuan Indonesia), sila keempat (kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan) dan sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Cara terbaik untuk melawan virus perpecahan adalah dengan “vaksin” Pancasila, yang seperti vaksin-vaksin biologis lainnya (BCG, campak, DTP, MMR, dll.) harus diberikan sejak dini. Namun sayangnya, di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, Pancasila biasanya hanya dihafalkan saja. Mengapa kita tidak mulai mendidik tunas-tunas bangsa kita sejak dini, agar mereka jeli saat mendengar segala jenis ideologi yang mengandung virus perpecahan? Dalam wabah korona ini, kita diharuskan untuk berhati-hati, harus sering cuci tangan, jangan sentuh wajah dengan tangan kotor, pakai masker dan lain sebagainya. Namun di seluruh tanah air kita, hampir tidak ada kejelian maupun strategi yang diterapkan untuk mencegah dan melawan virus perpecahan. Karena rakyat kita begitu beragam dan belum “terimunisasi” oleh vaksin Pancasila, akibatnya sangat mudah menjadi mangsa berbagai jenis oknum penyebar virus perpecahan. Beberapa tahun yang lalu, misalnya, saat ada pemilihan gubernur tertentu, ada tim kandidat gubernur yang MENGIMPOR orang asing untuk memprovokasi rakyat agar tidak memilih kandidat yang satunya. Saya heran sekali, kok tidak malu ya? Mengapa harus impor orang? Mengapa tidak meminta rakyat sendiri, sesama warga negara Indonesia, untuk berbicara baik-baik sesuai dengan prinsip kerakyatan dan peri kemanusiaan yang (setidaknya di atas kertas) mendasari negara kita? 

            Aku berharap, krisis virus korona ini bisa membuka mata kita terhadap krisis virus perpecahan yang telah lama menjangkiti negara kita, yang telah membuat respons kita terhadap berbagai krisis lainnya (krisis ekonomi, bencana alam, krisis kesehatan dll.) buruk, kurang siap dan penuh kelalaian. Aku harap krisis ini membuka mata kita terhadap vaksin terampuh yang kita miliki sekarang terhadap virus perpecahan: Pancasila, dasar negara kita. Kita harus menerapkannya dari dini, memastikan para tunas bangsa dan sesama warga negara kita jeli terhadap segala jenis penyimpangan yang mengkhianati prinsip persatuan, persahabatan serta peri kemanusiaan yang terkandung di dalam Pancasila. Saat menonton video provokatif, marilah kita jeli, apakah yang dilontarkan atau dikhotbahkan tersebut melanggar prinsip-prinsip Pancasila? Apakah yang diberitakan tersebut menyebarkan virus perpecahan dalam negara kita yang sudah cukup sakit dan lemah daya tahan Tubuhnya ini? Jika ya, jangan didengarkan, jauhilah ucapan tersebut seperti kita menjauhi virus korona ini. Rakyatku, sadarlah! Sudah terlalu lama negara kita dijangkiti virus perpecahan. Setiap kali ada pemimpin (sebut saja namanya P) yang dipilih atau menjabat, selalu ada saja orang-orang maupun kelompok-kelompok yang menyebarkan virus perpecahan: bukannya membantu rakyat untuk bersatu padu supaya negara maju dan jaya dalam pimpinan P, eh malah menyebar virus kebencian. Akhirnya, siapapun pemimpinnya, entah itu presiden, gubernur maupun wali kota, rakyat jadi terpecah menjadi “kubu P” dan “kubu anti-P”. Kedua belah kubu tidak sadar, bahwa dengan menyerang kubu yang lain mereka telah membuka diri lebar-lebar terhadap serangan virus perpecahan, virus yang sangat suka dengan daya tahan yang lemah dari rakyat Indonesia dan selalu mencari kesempatan untuk menjangkiti sebanyak mungkin orang.

            Rakyat Indonesia, berkreatiflah dalam menyuntikkan vaksin Pancasila. Jangan hanya dihafalkan saja! Setiap kali ada lontaran kata atau pidato, analisalah, apakah pidato ini membangun negara? Apakah pidato ini membuat masyarakat semakin harmonis dan bersatu? Atau malah menggunakan kedok ini itu (termasuk kutipan dari segala jenis Kitab Suci, nistaan yang tidak berdasar, kata-kata kasar dan lain sebagainya) untuk menyebarkan virus perpecahan dalam tanah air kita? Bangunlah rakyatku! Jangan terus menerus menjadi negara yang daya tahan Tubuhnya lemah dan mudah sakit serta mudah dipecah belah. Jadilah negara Indonesia yang mumpuni, yang bersatu, yang bersinar dan jaya. Kita sudah punya vaksinnya, dan Tuhan sudah memberi kita kemampuan untuk menerapkannya. Namun maukah kita mengusahakannya? Atau apakah kita akan terus memilih untuk tidak peduli, membiarkan negara kita menjadi negara yang mudah dirundung masalah, dengan penanganan masalah yang buruk, kacau balau dan lain sebagainya? 

Rakyatku, nasib dan masa depan Indonesia ada di tangan kita bersama. Marilah kita menggunakan masa krisis saat ini untuk berintrospeksi dan berpikir, bagaimana kita bisa meningkatkan daya tahan Tubuh negara kita, agar ke depannya bisa lebih harmonis, lebih kuat, lebih bersatu dan lebih jaya lagi. Hidup Indonesia!

Salam Pancasila,

Audrey YU Jia Hui

Universitas Notre Dame, Indiana, USA

23 Maret 2020